“Katakan pada Diana, bahwa aku datang padanya untuk membawa cinta yang tak lebih besar dari dunia.”
Seorang lelaki sederhana yang jatuh cinta pada seorang
wanita yang jauh lebih sederhana, menjalin sebuah cinta yang tak kalah
sederhananya. Sebuah kisah yang menceritakan, bahwa kesederhanaan adalah
kekayaan yang sesungguhnya. Namun, kisah ini bukanlah kisah yang indah, dan
juga bukan kisah yang tragis yang membunuh dua protagonist di akhir kisah.
Kisah ini dirangkum dengan sebuah kesederhanaan, tidak melebih-lebihkan, dan
tak juga lari dari kenyataan.
Diana dan Satya. Mengisahkan
sebuah kisah sedih, yang tidak terjadi di hari minggu. Seorang lelaki yang
mencintai wanitanya pada batas-batas yang ia hormati. Ia mengerti, bahwa dengan
cinta yang seadanya, ia pun bisa menerima balasan yang apa adanya. Ia tidak
membawa harta kepada Diana, tetapi ia membawa sebuah kisah klasik, yang bahkan hampir
setiap wanita menginginkannya. Biarkan aku bercerita, tentang lelaki ini, yang
begitu mencintai seorang wanita, namun ia terpaksa belajar apa itu namanya merelakan.
Lelaki, itu berhenti di depan sebuah kedai yang sepi.
Disambut dengan hangat oleh seorang wanita muda yang sejak tadi menantikan
kedatangannya. Sebuah pertemuan, yang mengundang perpisahan, kisah sedih
bermulai dari sini. Kedua sejoli ini duduk didekat sebuah jendela, sang lelaki
memulai perbincangan dengan basa-basi yang sudah pasti kalian ketahui. Tak akan
aku ceritakan seperti apa percakapan mereka, aku biarkan kalian semua
berimajinasi.
Hingga, sebuah kalimat terlontar dari kedua garis bibir yang
indah itu. Diana, ia akan menikah.
Sang wanita berkata, bahwa saat ini ia tak lagi bahagia menjalin
kesederhanaan ini. Sang lelaki bingung, ia tak mengerti, apa salah dan kurang
nya. Ia memberikan segalanya, segala sesuatu yang sederhana, karena hanya itu
yang ia punya. Sang lelaki bertanya, dan bagaikan sebuah sajak yang indah
kalimatnya terlontar dengan pelan, menyentuh hati siapa saja yang mungkin
mendengarnya.
“Diana, apa salahku padamu? Apa salah ku mencintaimu? Apa salahku hingga kamu tidak bahagia denganku? Aku mengerti bahwa kesederhanaan ini akan mengakhiri segalanya, tapi tak henti aku meminta bahkan memohon kepadamu untuk bersabar. Aku bukan lelaki yang kaya raya, kamu pun mengiyakan bahwa harta bukanlah segalanya. Tak bisakah kau ingat, masa-masa bahagia denganku, hingga nantinya aku dan kamu bisa kembali bahagia. Diana, aku sadar bahwa wanita harus diperlakukan layaknya ratu yang dimanjakan sang raja. Namun tak salah bukan jika aku hanya bisa mencintaimu layaknya petani yang mencintai ladangnya. Mencintai satu-satunya hal berharga yang ia punya? Aku memohon padamu, apa lagi yang harus aku lakukan agar bahagiamu kembali?”
Sang wanita terdiam, ia berpikir sejenak sebelum ia kembali
berkata-kata. Sebuah kalimat, yang bahkan bisa meruntuhkan lelaki terjantan
sekalipun.
“AKU SUDAH MENCINTAI LELAKI LAIN” , sebuah kaca tergambar di mata Diana.
Lelaki itu limbung, posisi duduknya bergeser sekian derajat,
tak lagi membentuk sudut istimewa yang selalu ia lakukan di depan orang yang ia
anggap sangat istimewa. Ia terkejut, ia bingung, ia kecewa, dan hatinya
berkata, sekarang lah waktumu untuk menyerah. Sang wanita melanjutkan, kalimat
demi kalimat yang semakin merendahkan pundak sang lelaki. Bahwa ia, mencintai
seorang lelaki yang mungkin lebih kaya, ia mengatakan bahwa saat ini ia sudah
bertunangan. Sebuah ikatan yang membuat seorang lelaki merasa amat berdosa,
jika ia masih memiliki rasa cinta pada seorang wanita yang sudah tak lagi hak
nya.
Pertemuan ini menjadi pertemuan yang terakhir sebagai
seorang kekasih untuk Diana, lelaki itu masih teduduk pada posisinya bahkan
ketika sang wanita pamit meninggalkannya. Ia terduduk hingga kedai sepi itu
akan mengunci pintu depannya. Sang pemilik, yang tidak mengetahui apapun
tentang kisah ini, namun ia bisa merasakan bahwa suatu kesalahan jika ia
menghampiri sang lelaki ini untuk memintanya keluar. Namun, tak ada kisah
protagonist menjadi gila disini. Satya, sang lelaki yang baru saja kehilangan
segalanya, petani yang baru saja kehilangan ladangnya, bukan seorang raja yang
hanya kehilangan salah satu permaisurinya. Ia mulai beranjak dari tempat
duduknya, ia sadar bahwa esok hari ia akan terbangun dari mimpi buruk ini.
Bahkan bila mimpi buruk ini belum berakhir, ia cukup kembali menarik selimut
dan memejamkan matanya, berharap air mata yang meronta untuk keluar ini
mengerti bahwa, mata ini sudah lelah bahkan hanya untuk berkedip.
Hingga tiba pernikahan sang wanita, ia tetap datang meski
tak di undang. Diana tahu, bahwa ia tidak mungkin menyakiti lelaki itu lebih
jauh lagi, ia tak mungkin memberikan undangan yang akan mengancurkan lelaki yang
pernah ia cintai jauh lebih dalam lagi. Dan, kisah sedih pun berakhir disini.
Sang lelaki datang bersama seorang wanita, namun bukan pengganti untuk sang
pujaan yang telah hilang. Ia datang bersama ibunya yang sudah sedikit renta. Ia
datang untuk mendoakan, hanya sempat mereka bersalaman, karena ia datang hanya
untuk mengucap perpisahan yang pasti. Air mata terus meronta keluar dari mata
lelaki ini, kaca-kaca kecil mulai menari ditatapan tajam nan lembutnya.
Kisah ini tak berakhir manis dan tak juga berakhir tragis,
Satya mencintai Diana. Bukan berarti Satya harus memiliki Diana. Satya
kehilangan Diana, dan Diana jelas meninggalkan Satya, tetapi ini bukan berarti
menjadi alasan bagi Satya untuk berhenti mendoakan Diana. Satya disakiti oleh
Diana, bukan berarti Satya wajib membalasnya dengan cara yang sama. Diana sudah
menyakit Satya, tetapi bukan berarti ia harus menghancurkannya lebih jauh lagi.
Sebuah kisah sederhana yang di akhiri oleh sebuah pesan tersurat, bahwa tidak
perlu kita berfikir bahwa karma pasti terjadi. Tak perlu kita meminta tuhan
untuk membalas semuanya, tak perlu juga kita memendam dendam yang tak ada habisnya.
Karena jika memang kita mencintai hal yang sederhana, maka sikapilah segala
sesuatunya dengan sederhana juga.
Gilang Al’Qarana~
0 comments:
Post a Comment